Sabtu, 29 Desember 2012

ZAKAT


Pengertian Zakat
Zakat secara bahasa diartikan bertambah dan meningkat. Jadi, setiap sesuatu yang bertambah kuantitasnya atau meningkat kadarnya, maka hal tersebut diungkapkan dengan zakâ, misalnya ‘zakâ az-zar’u’, artinya tanaman tumbuh dan berkembang.[i]
Sedangkat pengertian zakat secara istilah adalah kadar dari harta tertentu yang wajib dikeluarkan secara syara’ kepada sekelompok orang tertentu.[ii]
Zakat adalah hak Allah Swt. yang diberikan seseorang kepada fakir miskin. Dinamakan “zakat” karena diharapkan akan mendatangkan keberkahan, penyucian jiwa dan penumbuhan (harta) dengan berbagai macam kebaikan, sebab dia diambil dari kata “zakat” yang berarti pertumbuhan, kesucian dan keberkahan. Allah Swt. berfirman:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima. Zakat telah disandingkan dengan shalat dalam 82 ayat, dan Allah Swt. telah mewajibkannya melalui Kitab-Nya, sunnah Rasul-Nya dan ijmak umat Islam.[iii]
Awal Mula Diwajibkannya Zakat
Zakat diwajibkan di Makkah pada masa awal Islam secara umum, yakni tanpa ketentuan jenis dan banyaknya harta yang wajib dizakati. Ketentuan zakat masa itu diserahkan sepenuhnya kepada perasaan dan kedermawanan umat Islam. Baru pada tahun 2 Hijriah, ukuran dan jenis harta yang wajib dizakati dijelaskan secara rinci.[iv]
Keutamaan Zakat
Allah Swt. berfirman,
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain; mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.” (QS. At-Taubah: 71)
Demikian itu merupakan berita gembira bagi orang yang berzakat. Allah telah menjamin bahwa mereka akan diliputi olah rahmat-Nya. Menguatkan keutamaan dalam berzakat ini, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi,
“Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia mengembangkannya untuk salah seorang dari kamu seperti seseorang dari kamu memelihara anak-anak kudanya, bahkan sesuap nasi bisa menjadi sebesar gunung Uhud.” (HR. Imam Ahmad dan Tirmidzi)
Selain itu, jika kita mengamati pengertian zakat secara bahasa dan secara istilah, maka akan ditemukan relevansi antara keduanya bahwa meskipun secara lahir zakat mengurangi kuantitas harta, tapi konsekuensinya justru menambah harta, yakni menambah harta serta menambah kuantitasnya karena sesungguhnya Allah akan membukakan pintu rezeki bagi orang yang mau melaksanakan hal yang diwajibkan Allah pada hartanya.[v] Allah berfirman,
Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperolah keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum: 39)
Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantikannya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba: 39)
Hal ini dapat dibuktikan, karena sesungguhnya orang-orang yang mendapat taufik untuk menunaikan kewajiban pada harta-harta mereka pastilah mendapatkan berkah pada harta yang diinfakkan tersebut dan berkah pada harta yang masih ada pada mereka. Di samping itu, terkadang Allah membukakan bagi mereka pintu-pintu rezeki yang dapat dilihat langsung dengan mata kepala lantaran mereka menginfakkan harta-harta mereka di jalan Allah.[vi]


[i] Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar. Fiqih Ibadah: Kumpulan Fatwa Lengkap Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. (Surakarta: Media Zikir, 2010). hlm. 296.
[ii] Ibid.
[iii] Sulaiman Al-Faifi. Mukhtashar Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. (Solo: Aqwam, 2010). hlm. 202.
[iv] Ibid.
[v] Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar. Op.Cit. hlm. 296
[vi] Ibid. hlm. 297

Tugas Rasul


Jika Allah menghendaki, bisa saja Allah memberi petujuk kepada manusia secara langsung. Akan tetapi, untuk suatu hikmah yang dikehendaki-Nya, Allah mengutus para rasul dengan tugas-tugas yang telah ditentukan. Tugas rasul secara umum sebagaimana termaktub dalam Al-Quran adalah mengemban risalah dakwah dan menegakkan agama Allah.[i]
Mengemban Risalah Dakwah
Tugas Rasul yang diperintahkan langsung oleh Allah dan merupakan ciri-ciri kerasulan adalah menyampaikan dakwah kepada manusia. dalam menyampaikan dakwah, Allah di dalam firman-Nya mengingatkan manusia kepada ciptaan Allah, termasuk memperlihatkan alam semesta, hewan maupu tumbuh-tumbuhan. Setelah itu, Nabi Muhammad mengajarkan cara beribadah.[ii] Tugas kerasulan lainnya yang termasuk ke dalam mengemban risalah dakwah adalah sebagai berikut.[iii]
1. Mengenalkan pada pencipta
    Karena Allah Swt bersifat ghaib, maka pengenalan kepada-Nya hanya dapat dilakukan melalui ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan-Nya). Rasulullah sendiri tidak pernah melihat Allah. Demikian pendapat sebagian besar ulama berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa Aisyah ra. bertanya, “Apakah baginda pernah melihat Allah?” Rasulullah menjawab, “Cahaya, bagaimana mungkin aku dapat melihatnya?”[iv]
    2. Mengajarkan cara beribadah
      Mengabdi kepada Allah, menjalankan perintah Allah dan rasul adalah ibadah. Mengenai cara beribadah tidak Allah sebutkan secara rinci. Rasulullah yang kemudian menjelaskannya, karena rasul sebagai manusia dan sesuai untuk waktunya. Dengan model dari rasul dalam menjalankan ibadah maka jelaslah satu persatu amalan dan cara yang benar dalam beribadah kepada Allah.[v]
      3. Menyampaikan pedoman hidup
        Menyampaikan risalah selain berkaitan dengan pengenalan pencipta dan cara ibadah, juga mengenalkan pedoman hidup (Islam) secara benar. Islam sebagai minhajul hayatmenggambarkan Islam sebagai agama yang menyeluruh dan lengkap, yang mencakup segala aspek dalam kehidupan seperti politik, negara, kemasyarakatan dan ekonomi.[vi]
        4. Mendidik umat
          Tugas kerasulan lainnya yang teramsuk ke dalam mengemban risalah sakwah yaitu mendidik umatnya dengan arahan dan nasihat-nasihat tulusnya hingga mereka menjadi orang yang memiliki karakteristik muslim sebagaimana beliau.[vii]
          Menegakkan Agama Allah
          Tegaknya sistem sebagaimana diisyaratkan dalam hadits “buhul Islam” bermula dari kedaulatan hukum. Oleh karena itu tugas rasul dalam hal ini adalah:[viii]
          1. Menegakkan khilafah
            Disebut khilafah karena manusia mendapat mandat dari Allah untuk menegakkan syariat-Nya dan mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Dalam menjalankan kekhalifahannya, manusia tidak boleh menyimpang dari ketentuan syariat Allah.
            2. Mencetak kader
              Dibutuhkan kader yang akan mengawal dan membela agama ini dalam jihad untuk menegakkan kalimat Allah. Hal ini penting demi keberlangsungan khilafah Islamiyah di bumi.
              4. Mendidik generasi
                Mengajarkan kepada para pewarisnya panduan yang harus mereka ikuti dalam mendakwahkan agama Allah
                5. Memimpin dan memberi teladan
                  Dalam menjalankan misinya, perlu diberikan keteladanan bagaimana mengimplementasikan risalah Islam, termasuk dalam hal-hal yang tidak ada nash-nya secara qath’i. untuk itu rasul mengajak mereka bermusyawarah. Maka dari itu tugas Rasulullah Saw. yaitu mengimplementasikan risalah Islam yang mencakup perannya sebagai da’i, pendidik, sekaligus pemimpin.

                  [i] Jasiman, Lc. Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah. (Solo: Auliya Press, 2005). Hlm. 111.
                  [ii] Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. Kepribadian Muslim: Panduan Bagi Da’I dan Murabbi. (Jakarta: Mitra Grafika, 2005). hlm. 288.
                  [iii] Jasiman, Lc. op.cit. hlm111-112.
                  [iv] Ibid. hlm. 111.
                  [v] Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. op.cit. hlm. 289.
                  [vi] Ibid.
                  [vii] Jasiman, Lc. op.cit. hlm112.
                  [viii] Ibid.

                  Jika Allah menghendaki, bisa saja Allah memberi petujuk kepada manusia secara langsung. Akan tetapi, untuk suatu hikmah yang dikehendaki-Nya, Allah mengutus para rasul dengan tugas-tugas yang telah ditentukan. Tugas rasul secara umum sebagaimana termaktub dalam Al-Quran adalah mengemban risalah dakwah dan menegakkan agama Allah.[i]
                  Mengemban Risalah Dakwah
                  Tugas Rasul yang diperintahkan langsung oleh Allah dan merupakan ciri-ciri kerasulan adalah menyampaikan dakwah kepada manusia. dalam menyampaikan dakwah, Allah di dalam firman-Nya mengingatkan manusia kepada ciptaan Allah, termasuk memperlihatkan alam semesta, hewan maupu tumbuh-tumbuhan. Setelah itu, Nabi Muhammad mengajarkan cara beribadah.[ii] Tugas kerasulan lainnya yang termasuk ke dalam mengemban risalah dakwah adalah sebagai berikut.[iii]
                  1. Mengenalkan pada pencipta
                    Karena Allah Swt bersifat ghaib, maka pengenalan kepada-Nya hanya dapat dilakukan melalui ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan-Nya). Rasulullah sendiri tidak pernah melihat Allah. Demikian pendapat sebagian besar ulama berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa Aisyah ra. bertanya, “Apakah baginda pernah melihat Allah?” Rasulullah menjawab, “Cahaya, bagaimana mungkin aku dapat melihatnya?”[iv]
                    2. Mengajarkan cara beribadah
                      Mengabdi kepada Allah, menjalankan perintah Allah dan rasul adalah ibadah. Mengenai cara beribadah tidak Allah sebutkan secara rinci. Rasulullah yang kemudian menjelaskannya, karena rasul sebagai manusia dan sesuai untuk waktunya. Dengan model dari rasul dalam menjalankan ibadah maka jelaslah satu persatu amalan dan cara yang benar dalam beribadah kepada Allah.[v]
                      3. Menyampaikan pedoman hidup
                        Menyampaikan risalah selain berkaitan dengan pengenalan pencipta dan cara ibadah, juga mengenalkan pedoman hidup (Islam) secara benar. Islam sebagai minhajul hayatmenggambarkan Islam sebagai agama yang menyeluruh dan lengkap, yang mencakup segala aspek dalam kehidupan seperti politik, negara, kemasyarakatan dan ekonomi.[vi]
                        4. Mendidik umat
                          Tugas kerasulan lainnya yang teramsuk ke dalam mengemban risalah sakwah yaitu mendidik umatnya dengan arahan dan nasihat-nasihat tulusnya hingga mereka menjadi orang yang memiliki karakteristik muslim sebagaimana beliau.[vii]
                          Menegakkan Agama Allah
                          Tegaknya sistem sebagaimana diisyaratkan dalam hadits “buhul Islam” bermula dari kedaulatan hukum. Oleh karena itu tugas rasul dalam hal ini adalah:[viii]
                          1. Menegakkan khilafah
                            Disebut khilafah karena manusia mendapat mandat dari Allah untuk menegakkan syariat-Nya dan mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Dalam menjalankan kekhalifahannya, manusia tidak boleh menyimpang dari ketentuan syariat Allah.
                            2. Mencetak kader
                              Dibutuhkan kader yang akan mengawal dan membela agama ini dalam jihad untuk menegakkan kalimat Allah. Hal ini penting demi keberlangsungan khilafah Islamiyah di bumi.
                              4. Mendidik generasi
                                Mengajarkan kepada para pewarisnya panduan yang harus mereka ikuti dalam mendakwahkan agama Allah
                                5. Memimpin dan memberi teladan
                                  Dalam menjalankan misinya, perlu diberikan keteladanan bagaimana mengimplementasikan risalah Islam, termasuk dalam hal-hal yang tidak ada nash-nya secara qath’i. untuk itu rasul mengajak mereka bermusyawarah. Maka dari itu tugas Rasulullah Saw. yaitu mengimplementasikan risalah Islam yang mencakup perannya sebagai da’i, pendidik, sekaligus pemimpin.

                                  [i] Jasiman, Lc. Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah. (Solo: Auliya Press, 2005). Hlm. 111.
                                  [ii] Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. Kepribadian Muslim: Panduan Bagi Da’I dan Murabbi. (Jakarta: Mitra Grafika, 2005). hlm. 288.
                                  [iii] Jasiman, Lc. op.cit. hlm111-112.
                                  [iv] Ibid. hlm. 111.
                                  [v] Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. op.cit. hlm. 289.
                                  [vi] Ibid.
                                  [vii] Jasiman, Lc. op.cit. hlm112.
                                  [viii] Ibid.

                                  AKhlak


                                  AKHLAK sering juga disebut sebagai “etika”. Secara bahasa, keduanya bermakna sama. Namun, apabila ditelusuri dari sumber bahasanya, keduanya berbeda secara signifikan. Etika yang berasal dari bahasa Yunani “Ethos”, menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan sesuatu dengan ikhtiar dan sengaja, dan pada waktu melakukannya ia mengetahui apa yang ia perbuat. [i] Oleh karena itu, menurutnya, perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar, seperti saat tidur atau gila, tidaklah bisa disebut akhlak. Sementara itu, menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat, etika berarti sebuah pranata perilaku seseorang atau kelompok yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah orang atau kelompok tersebut. Sifat baik yang ada pada pranata ini merupakan persetujuan “sementara” dari orang atau kelompok yang menggunakan pranata perilaku tersebut. [ii]
                                  Penjelasan dari kata “sementara” dalam paragraf di atas adalah bahwa sebuah ukuran baik yang dipergunakan satu kelompok, belum tentu dianggap baik oleh kelompok yang lain. Dalam masyarakat yang menggunakan sistem etika seperti itu, pada suatu waktu tertentu akan membenarkan pelaksanaan suatu nilai tata cara hidup tertentu yang pada waktu dan tempat lain tidak dibenarkan. Salah satu contohnya adalah perilaku hidup bersama pranikah pada masyarakat Barat.[iii] Hal ini mereka lakukan karena secara budaya dan kebiasaannya mereka menyetujui hal tersebut dilakukan.
                                  Hal demikianlah yang membedakan secara signifikan makna etika dan akhlak. Akhlak, berasal dari akar kata bahasa Arab “khuluqun”, yang artinya perangai, tabiat, dan adat; atau “khalqun” yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat, akhlak berarti perangai, adat, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat. [iv] Dari akar katanya, akhlak adalah satu kata yang muncul sebagai media yang memungkinkan timbulnya hubungan baik antara Khaliq dan makhluk (hablum min Allah); dan antara makhluk dan makhluk (hablum min an naas wa ghairuhaa).[v]
                                  Secara lebih khusus, akhlak adalah satu kata yang merepresentasikan tata cara dan perilaku hidup umat Islam yang dasarnya adalah firman Allah Swt. dan teladan Rasulullah Muhammad saw. dan para nabi, bukan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat yang sifatnya temporal. Firman Allah Swt. bersifat mutlak dan berlaku universal. Oleh karena itu, tidak akan ditemukan dalam Islam satu sistem perilaku yang di satu masyarakat muslim berlaku tapi tidak berlaku di masyarakat muslim yang lain.

                                  [i] Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan-Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 5
                                  [ii] Prof. Dr. Zakiah Darajat, dkk.,  Dasar-Dasar Agama Islam, Bulan-Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 257.
                                  [iii] Prof. Dr. Zakiah Darajat, dkk.,  Dasar-Dasar Agama Islam, Bulan-Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 257.
                                  [iv] Prof. Dr. Zakiah Darajat, dkk.,  Dasar-Dasar Agama Islam, Bulan-Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 253.
                                  [v] Dr. H. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1983, hlm. 11

                                  Tanda Cinta Kepada Allah


                                  Kecintaan kepada Allah merupakan dasar untuk menjadikan amal yang saleh dan ibadah yang benar. Amal tanpa didasari cinta akan merusak amal yang dikerjakannya, tetapi sebaliknya apabila amal berdasarkan cinta akan menghasilkan amal saleh yang akan dihayati dengan mendalam.[i] Ketika seorang muslim mencinta Allah, maka ia akan rela melaksanakan segala perintahnya. Itulah tanda cintanya kepada Allah. Tanda lain dari mencintai Allah adalah banyak berdzikir, kagum, ridha, berkorban, takut, berharap, dan taat kepada Allah.[ii]
                                  Banyak berdzikir
                                  Allah adalah yang paling pantas untuk diharapkan dan ditakuti, maka sudah sepatutnya pada Dialah seorang muslim banyak berdzikir (mengingat dan menyebut), sebab banyak mengingat dan menyebut Allah merupakan salah satu sebab kemenangan sebagaimana yang diungkapkan dalam surat Al-Anfal ayat 45.[iii]
                                  Kagum
                                  Mencintai sesuatu karena ada kekaguman, seperti kagum karena kecantikan, kemurahan, penyayang dan sebagainya. Dalam hubungan cinta dengan Allah, seorang muslim senantiasa mengagumi kehebatan Allah. Kagum terjadi karena adanya simpati dan rasa senang terhadap objek yang dikenalnya. [iv] Allah-lah yang memiliki segala sifat kesempurnaan. Oleh karena itu, Allah pula yang paling berhak untuk mendapat segala bentuk pengagungan.[v]
                                  Ridha
                                  Ciri cinta yang lain adalah ketika hati kecil rela kepada yang dicintai. Juga rela berkorban bagi kepentingan yang dicintainya. Allah berfirman bahwa keridhaan yang patut adalah keridhaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ridha kepada Allah dan Rasul-Nya berarti rela melakukan semua perintah-Nya dengan baik, bahkan dilaksanakan dengan senang hati.[vi]
                                  Berkorban
                                  Mengenal Allah dan Rasul-Nya akan mewujudkan kerelaan untuk berkorban. Berkorban adalah konsekuensi dari rasa cintanya kepada sesuatu. Cinta kepada keluarga berarti siap mengorbankan uang, waktu, tenaga dan pikiran untuk kepentingan keluarga. Cinta tidak dapat diwijudkan tanpa adanya pengorbanan. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya berarti harus berani berkorban untuk membela syariatnya. Seorang muslim tidak hanya mengamalkan nilai perintah-Nya tetapi berkorban untuk membela sebagai wujud dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.[vii]
                                  Takut
                                  Cinta memiliki rasa takut dalam bentuk harap dan cemas. Takut kepada yang dicintainya bukan berarti karena kesadisan dan kejahatannya, tetapi karena adanya harapan dan kecemasan dalam penantian. Cinta kepada anak dalam bentuk memberikan harapan agar anak bisa berhasil di masa depan dan khawatir apabila harapan tersebut tidak dapat terpenuhi. Takut kepada Allah karena memiliki harapan agar Allah mengabulkan doa dan cemas apabila Allah tidak mengabulkan doanya.[viii]
                                  Berharap
                                  Cinta juga diwujudkan dalam mengharap kepada sesuatu. Harapan kepada Allah melalui doa biasanya dilakukan karena ada daftar keinginan yang perlu disampaikan kepada yang dicintai yaitu Allah. Mengharap bertemu dengan Allah di akhirat dan mengharap rahmat dari Allah adalah ciri orang yang beriman. Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 21 bahwa ciri orang yang beriman adalah orang yang banyak menyebut nama Allah dan mengharapkan rahmat Allah.[ix]
                                  Taat kepada Allah
                                  Mentaati yang dicintainya adalah bukti dari kecintaann kita kepada Allah. Taat berarti mematuhi keinginan dan mengikuti kehendak yang dicintainya. Banyak contoh dalam masyarakat tentang seorang remaja yang mencintai seseorang, ia bersedia mengikuti apa yang dikehendaki orang tersebut walaupun kehendak tersebut tidak disenanginya. Alangkah baiknya mentaati Allah yang dicintainya karena akan membawa kepada kebaikan daripada mentaati selain Allah.[x]

                                  [i] Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. Kepribadian Muslim: Panduan Bagi Da’I dan Murabbi. (Jakarta: Mitra Grafika, 2005). hlm. 201.
                                  [ii] Jasiman, Lc. Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah. (Solo: Auliya Press, 2005). Hlm. 79.
                                  [iii] Ibid.
                                  [iv] Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. op.cit. hlm. 204.
                                  [v] Jasiman, Lc. op.cit. hlm80.
                                  [vi] Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. op.cit. hlm. 204.
                                  [vii] Ibid. hlm. 205.
                                  [viii] Ibid.
                                  [ix] Ibid. hlm. 206.
                                  [x] Ibid.

                                  Pengertian hadis dan sunah


                                  Hadits, dalam pengertian bahasa, berarti baru, dekat, atau khabar (berita)[i]. Berita, sebagai salah satu pengertian hadits, semakna dengan sunnah, yang berarti jalan atau tradisi. Kesamaan yang dimaksud karena sumber berita, jalan, atau tradisi yang dimaksud dari istilah hadits dan sunnah tersebut merujuk kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, makna istilah secara umum dari hadits dan sunnah adalah segala sesuatu (berita, jalan, atau tradisi) yang sumbernya dari Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun izinnya.[ii] Tegasnya, jumhur ulama ahli hadits memaknai hadits atau sunnah sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), dan sebagainya.[iii]
                                  Perkataan yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah perkataan yang pernah Nabi Muhammad saw. ucapkan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang hukum (syariat), akhlak, akidah, pendidikan, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan yaitu aktivitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan menjadi penjelasan praktis atas aturan-aturan syariat yang belum jelas cara pelaksanaannya. Sementara itu, izin yang dimaksud adalah keadaan Nabi Muhammad saw. yang mendiamkan, tidak menyanggah atau menyetujui apa yang dilakukan atau apa yang dinyatakan para sahabat di hadapan beliau.[iv]
                                  Meskipun sedemikian jelas persamaan dari istilah keduanya, sebagian orang memandang keduanya tetap berbeda. Menurut mereka, sunah berarti segala sesuatu yang pernah diucapkan, dilakukan, dan diizinkan oleh Nabi Muhammad saw., baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Sementara itu, hadits menurut mereka adalah catatan-catatan yang dihimpun dari perkataan, perbuatan, dan izin Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, sunah, menurut mereka, adalah sumber hukum dan sumber hidup setiap Muslim. Akan tetapi, hadits tidak seperti itu karena catatan-catatan yang disebut hadits ada yang asli (sesuai dengan perkataan, perbuatan, dan izin Nabi Muhammad saw.) dan ada yang palsu (hasil mengada-ada orang yang menuliskannya).[v]
                                  Maka dari itu, dalam ranah keilmuan, hadits (sebagai catatan-catatan) diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok.[vi] Menurut periwayatannya, hadis terbagi menjadimutawatirmasyhur, dan ahad. Sementara itu, berdasarkan kualitasnya, hadis terbagi menjadi shahihhasan, dan dhaif. [vii]


                                  [i] Drs. Miftah Faridl, Pokok-Pokok Ajaran Islam, Penerbit Pustaka, Bandung, 1993, hlm. 18.
                                  [ii] Prof. Dr. Zakiah Darajat, dkk., Dasar-Dasar Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 181.
                                  [iii] Muh. Mahfudh At Tarmusy, Manhaj Dzawi’n Nadhar, dalam Fathur Rachman, Alma’arif, Bandung, 1991, hlm. 6.
                                  [iv] Drs. Fathur Rachman, Ikhtishar Mushthalah Al Hadits, Alma’arif, Bandung, 1991, hlm. 6-9.
                                  [v] Prof. Dr. Zakiah Darajat, dkk., Ibid.
                                  [vi] Drs. Zaenal Abidin, M.Ag., Dasar-Dasar Islam, Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung, 2005, hlm. 37-38.
                                  [vii] Insya Allah dibahas dalam artikel Memahami Istilah-Istilah Hadits.

                                  Madaniyah dan Makiyah


                                  Menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat Makkiyah (surat Makkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu.
                                  Masa turunnya Al-Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah, yaitu masa Nabi Muhammad saw. bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya wahyu pertama sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut disebut juga periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama periode pertama ini dinamakan ayat-ayat Makkiyyah. Waktu turunnya berlangsung selama 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, yang dimulai pada 17 Ramadhan, pada saat Nabi Muhammad saw. berusia 40 tahun. Adapun ayat yang diturunkan berjumlah 4.726 ayat dan meliputi 89 surah. (i)
                                  Surat-surat tersebut antara lain: QS Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Muddatstsir, Al-Fâtihah, Al-Masad (Al-Lahab), At-Takwir, Al-A’la, Al-Lail, Al-Fajr, Adh-Dhuha, Alam Nasyrah (Al-Insyirah), Al-Ashr, Al-Adiyat, Al-Kautsar, At-Takatsur, Al-Ma’un, Al-Kafirun, Al-Fîl, Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlas, An-Najm, Abasa, Al-Qadar, Asy-Syamsu, Al-Burûj, At-Tin, Al-Quraisy, Al-Qâri’ah, Al-Qiyamah, Al-Humazah, Al-Mursalah, Qaf, Al-Balad, Ath-Thariq, Al-Qamar, Shad, Al-A’râf, Al-Jin, Yâsîn, Al-Furqân, Fathir, Maryam, Thâhâ, Al-Wâqi’ah, Asy-Syu’arâ’, An-Naml, Al-Qashash, Al-Isrâ’, Yunus, Hud, Yusuf, Al-Hijr, Al-An’âm, Ash-Shaffat, Luqman, Saba’, Az-Zumar, Ghafir, Fushshilat, Asy-Syura, Az-Zukhruf, Ad-Dukhan, Al-Jatsiyah,  Al-Ahqâf, Adz-Dzâriyah, Al-Ghâsyiah, Al-Kahf, An-Nahl, Nuh, Ibrahim, Al-Anbiyâ’, Al-Mu’minûn, As-Sajdah, Ath-Thur, Al-Mulk, Al-Haqqah, Al-Ma’arij, An-Naba’, An-Nâzi’at, Al-Infithar, Al-Insyiqaq, Ar-Rûm, Al-Ankabut, Al-Muthaffifin, Az-Zalzalah, Ar-Ra’d, Ar-Rahmân, Al-Insân, Al-Bayyinah. (ii)
                                  Ayat-ayat Al-Quran yang turun di Makkah memiliki sejumlah ciri, antara lain pendek-pendek, dimulai dengan perkataan yâ ayyuha an-nâs (wahai manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid, keimanan pada Allah Swt., hal ihwal surga dan neraka, kisah-kisa umat terdahulu yang mengandung pelajaran dan budi pekerti, serta berbagai masalah yang menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat). (iii)
                                  Periode kedua turunnya Al-Quran dinamakan periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah (622-632). Masa ini disebut juga periode hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut ayat-ayat Madaniyyah yang berjumlah 1.510 ayat dan mencakup 25 surah (iv), antara lain: QS Al-Baqarah, Al-Anfal, Ali-Imrân, Al-Ahzab, Al-Mumtahanah, An-Nisa’, Al-Hadîd, Al-Qital, Ath-Thalaq, Al-Hasyr, An-Nûr, Al-Hajj, Al-Munâfiqûn, Al-Mujadalah, Al-Hujurât, At-Tahrim, At-Taghabûn, Ash-Shaff, Al-Jumû’ah, Al-Fath, Al-Mâ’idah, At-Taubah, dan An-Nashr. (v)
                                  Adapun ciri-ciri ayat-ayat Madaniyyah adalah panjang-panjang (tiwal), diawali dengan perkataan yâ ayyuha allazina âmanu (wahai orang-orang beriman) dan sangat sedikit sekali yang diawali dengan kata yâ ayyuha an-nâs, kebanyakan berisi hukum-hukum adat atau hukum duniawi yang jelas; semacam hukum kemasyarakatan, hukum ketatanegaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antaragama, dan sebagainya, serta banyak membicarakan orang yang berhijrah (kaum Muhajirin), kaum Anshar, kaum munafik, dan Ahli Kitab. (vi)
                                  Catatan Kaki:
                                  (i)          Emsoe Abdurrahman & Apriyanto Rd., The Amazing Stories of Al-Quran: Sejarah yang Harus Dibaca (Bandung: Salamadani, 2009), hlm.23
                                  (ii)          Miftah Faridl, Pokok-Pokok Ajaran Islam (Bandung: Pustaka ITB, 1982), hlm. 14-15.
                                  (iii)        Emsoe Abdurrahman & Apriyanto Rd., op.cit., hlm. 23.
                                  (iv)        Emsoe Abdurrahman & Apriyanto Rd., loc. cit.
                                  (v)          Miftah Faridl, op.cit., hlm.16
                                  Emsoe Abdurrahman & Apriyanto Rd., op.cit., hlm.24.